A. Latar Belakang
Salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian daerah kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi Sulawesi Tengah dewasa ini adalah berkisar pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di daerah yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam berotonomi adalah terletak pada besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kecenderungan berpikir di atas dapat dipahami karena adanya perspektif sejarah pemerintahan daerah yang mengungkap mengenai penyebab keterbelengguan daerah baik secara politis maupun secara ekonomis lewat piranti hukum pemerintahan daerah, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 beserta semua peraturan pelaksanaannya. Piranti hukum itulah yang membatasi kewenangan daerah untuk tumbuh dan berkembang dalam rangka menggali segala potensi ekonomi yang strategis di daerah.
Nuralam Abdullah menyatakan bahwa dari perspektif sejarah mengungkapkan bahwa pemerintah daerah pada masa lalu sangat bergantung pada subsidi dana dari pemerintah pusat. Hasil identifikasi dan inventarisasi kemampuan keuangan daerah yang dilakukan oleh Direktur jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) menunjukkan bahwa hanya 21,92% dari 292 Daerah Tingkat II di Indonesia yang dipandang mampu untuk membiayai pembangunan daerahnya.
Ketergantungan daerah pada subsidi pemerintah pusat juga diungkapkan oleh Bagir Manan, bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) baik Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II, tidak mencukupi untuk membiayai diri sendiri.
Hal
ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari Anggaran Belanja dan Pendapatan
Daerah (APBD) barasal dari bantuan pemerintah pusat. Bantuan keuangan
yang besar telah memberikan kesempatan lebih besar kepada daerah
untuk melaksanakan berbagai tugas pelayanan pada masyarakat, tetapi
ketergantungan keuangan ini menimbulkan akibat penyelenggaraan otonomi daerah
tidak sepenuhnya dapat berjalan, dan dilain pihak mengundang kuatnya campur
tangan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah.
H.Tabrani
Rab juga mengungkapkan data mengenai rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD)
sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan
Daerah. Kemampuan PAD sejumlah daerah Tingkat II di seluruh Indonesia pada
tahun 1993/1994 hanya sebesar 11,24 %, dan dalam perjalannya setiap tahun
cenderung mengalami penurunan. Sebaliknya proporsi bantuan Pemerintah Pusat
meningkat dari 63,87 % pada tahun 1985 / 1986 menjadi 70,87 % pada tahun 1993 /
1994.
Realitas mengenai rendahnya PAD di sejumlah daerah pada masa lalu, akhirnya mengkondisikan daerah untuk tidak berdaya dan selalu bergantung pada bantuan pembiayaan atau subsidi dana dari pemerintah pusat. Kondisi demikian ini pada akhirnya menjadi salah satu argumentasi yang mendorong perlunya percepatan reformasi dalam lingkup pemerintahan, hingga ditandai dengan pembentukan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kehadiran Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tidak hanya bermaksud mengatasi permasalahan keuangan daerah melalui pemberian kewenangan yang luas kepada daerah untuk menggali sejumlah potensi ekonomi yang ada di daerah, melainkan juga menekankan pada upaya peningkatan efesiensi dan efektifitas pengelolaan sumber-sumber keuangan dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dimungkinkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, yaitu adanya kewenangan daerah yang mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.
Kewenangan
yang diberikan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang Undang Nomor
22 Tahun 1999, harus diakui sebagai suatu peluang dan sekaligus mengandung
sejumlah tantangan bagi daerah yang memiliki potensi sumber daya
alam yang melimpah ruah, sehingga pembiayaan
pembangunan daerah dan pengeluaran rutin mungkin bukan permasalahan
yang serius. Sebaliknya, bagi daerah yang tidak memiliki potensi
sumber daya alam yang memadai, persediaan anggaran pembangunan dan anggaran
rutin, tentu saja akan menjadi permasalahan serius. Ketentuan tersebut juga
tetap diatur pada Undang Undang pemerintahan daerah yang baru yaitu pada Pasal
14 Ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 .
Hasil penelitian Badan Peneliti dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada, Syarifuddin Tayeb menyatakan bahwa dari 292 (dua ratus sembilan puluh dua) Daerah Kabupaten yang diteliti menunjukkan rendahnya konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah yaitu :
·
122
Daerah Kabupaten berkisar antara 0,53 % - 10 %
·
86
Daerah Kabupaten berkisar antara 10 % - 20 %
·
43
Daerah Kabupaten berkisar antara 20,1 % - 30 %
·
17
Daerah Kabupaten berkisar antara 31,1 % - 50 %
·
2
Daerah Kabupaten berkisar di atas 50 %
Rendahnya
konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah, karena daerah
hanya diberikan kewenangan mobilisasi sumber dana pajak dan yang mampu
memenuhi hanya sekitar 20% - 30% dari total penerimaan untuk membiayai
kebutuhan rutin dan pembangunan, sementara 70% - 80% didrop dari pusat.5
Selain karena persoalan kewenangan yang terbatas dalam memobilisasi sumber dana pajak dan retribusi, juga terdapat persoalan yang bersifat teknis yuridis yaitu dalam bentuk regulasi yang dijadikan dasar hukum bagi daerah untuk memungut Pendapatan Asli Daerah, baik yang bersumber dari Pajak maupun dari Retribusi Daerah. Temuan penelitian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengungkapkan bahwa dari 340 Peraturan Daerah (PERDA) Pemerintah Kabupaten/Kota/Propinsi pada 28 Propinsi yang dievaluasi selama tiga tahun terakhir, ternyata 69 % PERDA Pajak dan Retribusi dan PERDA non Pajak dan Retribusi yang dinyatakan bermasalah.
Selain karena persoalan kewenangan yang terbatas dalam memobilisasi sumber dana pajak dan retribusi, juga terdapat persoalan yang bersifat teknis yuridis yaitu dalam bentuk regulasi yang dijadikan dasar hukum bagi daerah untuk memungut Pendapatan Asli Daerah, baik yang bersumber dari Pajak maupun dari Retribusi Daerah. Temuan penelitian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengungkapkan bahwa dari 340 Peraturan Daerah (PERDA) Pemerintah Kabupaten/Kota/Propinsi pada 28 Propinsi yang dievaluasi selama tiga tahun terakhir, ternyata 69 % PERDA Pajak dan Retribusi dan PERDA non Pajak dan Retribusi yang dinyatakan bermasalah.
Menurut
Agung Pambudi (Peneliti Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah) bahwa
permasalahan yang menonjol pada Peraturan Daerah tersebut adalah berkisar pada
masalah substansi, yaitu sekitar 42 %, dan selebihnya menyangkut masalah
prinsip (10%) serta masalah teknis (17%).
Fenomena
Perda-perda bermasalah juga diungkap oleh sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat-SMERU Research Institute bekerjasama dengan USAID dan Partnership
for Economic Growth (PEG), bahwa pada tahun 2000-2001 di Sumatera sedikitnya
tercatat tiga Kabupaten menerbitkan Perda yang berdampak negatif pada iklim
usaha, yaitu Karo, Simalungun dan Deli Serdang. Menurut Ilyas Saad, dari SMERU
Research Institute, pungutan yang paling menonjol terjadi di Deli
Serdang, yaitu sumbangan wajib untuk usaha perkebunan, retribusi hasil usaha
pertambakan sebasar 20% dari harga dasar perkilogram. Retribusi izin penebangan
dan pemanfaatan kayu karet sebesar Rp.1.500,- permeter kubik, dan pajak
pembudidayaan dan pemanfaatan sarang burung walet sebesar 20 % dari harga dasar
perkilogram. Selain itu masih ada berbagai pungutan lain yang memberatkan dunia
usaha, antara lain retribusi kesehatan hewan bagi setiap peternak
Fenomena
perda-perda bermasalah sempat mengusik banyak pihak, terutama bagi
kalangan pelaku usaha. Pihak Departemen Keuangan RI telah merekomendasikan
sebanyak 206 Perda untuk dicabut oleh Menteri Dalam Negeri.
Rekomendasi itu didasarkan pada suatu kajian antar departemen dimana
dinilai memberatkan pengusaha sehingga menjadi kontraproduktif bagi
pertumbuhan ekonomi daerah.9
Departemen Dalam Negeri juga mencatat sebanyak kurang lebih 7000 Perda yang dinilai tidak layak. Perda-perda sebanyak itu dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta menimbulkan tumpang tindih dan kerancuan
Departemen Dalam Negeri juga mencatat sebanyak kurang lebih 7000 Perda yang dinilai tidak layak. Perda-perda sebanyak itu dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta menimbulkan tumpang tindih dan kerancuan
Harus
diakui bahwa fenomena Perda Perda bermasalah juga terjadi di daerah
kabupaten/kota dalam lingkup Propinsi Sulawesi Tengah.
Hal ini dapat kita diketahui dari beberapa Perda kabupaten/kota yang telah dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri antara lain :
1. Peraturan Daerah Kota
Palu Nomor 6 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Rumah Kost/Pemondokan.
2. Peraturan Daerah
Kabupaten Tolitoli Nomor 25 Tahun 2001 tentang Pajak Komoditi
3. Peraturan Daerah
Kabupaten Tolitoli Nomor 57 Tahun 2001 tentang Retribusi Jalan Kabupaten.
4. Peraturan Daerah
Kabupaten Morowali Nomor 59 Tahun 2001 tentang Tempat Pendaratan Kapal.
5. Peraturan Daerah
Kabupaten Morowali Nomor 66 Tahun 2001 tentang Izin Pemilikan dan Penggunaan
Gergaji Rantai.
6. Peraturan Daerah
Kabupaten Morowali Nomor 68 Tahun 2001 tentang Penarikan Sumbangan Pihak Ketiga
Kepada Pemerintah Daerah .
Tentunya
masih banyak lagi peraturan daerah yang bermasalah akan menyusul untuk
dibatalkan dengan berbagai pertimbangan/alasan pembatalan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berkenaan dengan implementasi peraturan daerah yang berorientasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam menunjang pelaksanaan Otonomi Daerah di kota Palu, maka masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah :
B. RUMUSAN MASALAH
Berkenaan dengan implementasi peraturan daerah yang berorientasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam menunjang pelaksanaan Otonomi Daerah di kota Palu, maka masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah :
1. Apakah peraturan
daerah khususnya pajak dan retribusi daerah yang berkaitan dengan
pendapatan asli daerah telah memenuhi asas-asas pembuatan peraturan
daerah yang baik dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah di kota Palu?
2. Apakah peraturan
daerah yang mengatur pendapatan asli daerah sudah
berorientasi pada kepentingan masyarakat kota Palu?
B.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian sebagaimana permasalahan yang telah dikemukakan di atas adalah untuk :
Tujuan penelitian sebagaimana permasalahan yang telah dikemukakan di atas adalah untuk :
1. Mengetahui apakah
peraturan daerah khususnya pajak daerah dan retribusi daerah yang berkaitan
dengan pendapatan asli daerah telah memenuhi keriteria pembuatan peraturan
daerah yang baik menunujang pelaksanaan otonomi daerah di Kota Palu.
2. Mengetahui peraturan
daerah kota Palu apakah sudah sesuai kepentingan masyarakat .
C. Kegunaan Penelitian.
Atas hasil penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bahan untuk
pengembangan ilmu hukum, khususnya tata negara, dan merupakan sumbangan
pemikiran bagi unsur pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah
di kota Palu.
2. Bahan informasi kepada
pemerintah kota Palu khususnya dan pemerintah Sulawesi Tengah pada umumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
contoh tesis s2
TINJAUAN PUSTAKA
contoh tesis s2
A. Bentuk Negara Kesatuan
Akan
teman teman dapatkan setelah teman mendownload Contoh Tesis S2 ini
BAB III
METODE PENELITIAN
contoh tesis s2
METODE PENELITIAN
contoh tesis s2
A. Lokasi Penelitian.
Penelitian dilakukan di kota Palu, dengan didasarkan pada pertimbangan bahwa di kota Palu perda-perda yang telah ada dan berorientasi pendapatan asli daerah sebagai salah satu sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam implementasinya belum sepenuhnya memperhatikan kepentingan masyarakat.
B. Bentuk dan Pendekatan Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan adalah kajian normatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, adapun data yang diketemukan dilapangan hanya merupakan data pendukung .
C. Sumber Data Penelitian
Berdasarkan pendekatan yang digunakan, maka dapat ditentukan sumber bahan penelitian yaitu bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, buku literatur hukum, jurnal hukum yang berkaitan dengan objek penelitian dan bahan hukum sekunder berupa tambahan lembaran Negara yang berkaitan dengan objek penelitian, data yang berbentuk angka hanya merupakan data penunjang .
. D. Definisi Operasional.
1. Otonomi daerah adalah
hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
2. Otonomi luas adalah
keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan
semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya
yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
3. Otonomi nyata adalah
keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di
bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan
berkembang di daerah.
4. Otonomi bertanggungjawab
adalah perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus
dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonom, berupa peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan
kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang
serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik
Imdonesia.
6. Dekonsentrasi aalah
pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu
.
7. Tugas pembantuan
adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari daerah
provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
8. Pendapatan daerah
adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih
dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
9. Pendapatan asli daerah
adalah segala penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam
wilayahnya yang ditetapkan dengan peraturan daerah ssuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu:a. a. Hasil pajak
daerah.b. Hasil retribusi daerah.c. Perusahan
milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan.d. Lain-lain pendapatan asli daerah.
10. Pajak daerah adalah
iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
11. Retribusi daerah
adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah
daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh
orang pribadi atau badan.
12. Lain-lain pendapatan
yang sah adalah pendapatan-pendapatan lain yang tidak termasuk ke dalam
jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah dan pendapatan dinas-dinas yang
sifatnya insidentil/temporer. yang menunjang pelaksanaan atonomi daerah adalah
peraturan daerah yang pada penerapannya dilapangan tidak ada hambatan pada
pelaksanaannya.
13. Peraturan
Daerah yang menunjang
pelaksanaan otonomi daerah adalah peraturan daerah yang pada
penerapannya dimasyarakat tidak ada kendala,
14. Peraturan Daerah
yang berorientasi pada kepentingan masyarakat adalah Peraturan daerah yang
materi muatannya memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Penerapan asas-asas pembuatan peraturan daerah yang baik dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah di Kota Palu.
Pusat perhatian yang pertama-tama dalam penelitian ini adalah mengenai penerapan asas-asas perundang-undangan yang baik dalam pembuatan peraturan daerah di kota Palu. Untuk mengungkap bagaimana implementasinya penulis telah melakukan penelitian terhadap proses pembuatan peraturan daerah kota Palu mulai dari proses pembuatan rancangan peraturan daerah, pengajuan rancangan peraturan daerah, pembahasan rancangan peraturan daerah sampai persetujuan dan ditetapkannya sebagai peraturan daerah pada masa persidangan priode tahun 2003. Pada masa persidangan triwulan I tahun 2003, pihak eksekutif (pemerintah daerah kota Palu) telah mengajukan 12 buah rancangan peraturan daerah kepada pihak legislative (DPRD Kota Palu) untuk dibahas bersama-sama, kemudian ditetapkan sebagai peraturan daerah.
Adapaun rancangan peraturan daerah kota Palu tersebut adalah, sebagai berikut:
1. Rancangan peraturan
daerah Kota Palu tentang Rambu-rambu Lalu Lintas di jalan.
2. Rancangan peraturan
daerah Kota Palu tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Palu Nomor
23 Tahun 2001 tentang Retribusi Perdagangan Eksport Melalui Penerbitan
Certificate of Origin (CoO) atau Surat Keterangan Asal Barang (SKA).
3. Rancangan peraturan
daerah Kota Palu tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 22
Tahun 2001 Tentang Retribusi Tanda Daftar Perusahaan (TDP).
4. Rancangan peraturan
daerah Kota Palu tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2001
Tentang Retribusi Tanda Daftar Gudang (TDG).
5. Rancangan peraturan
daerah Kota Pelu, tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Retribusi Perdangan Antar Pulau Melalui Penerbitan Surat
Keterangan Komoditi Antar Pulau.
6. Rancangan peraturan
daerah Kota Palu tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 9
Tahun 2001 tentang Retribusi Surat izin usaha Industri (SIUI).
7. Rancangan peraturan
daerah Kota Palu tentang Retribusi Izin Penggunaan Jalan.
8. Rancangan peraturan
daerah Kota Palu, tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 13
Tahun 2001 Tentang Retribusi Izin Usaha Salon Kecantikan dan Pemangkas Rambut.
9. Rancangan peraturan
Kota Palu, tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2001
Tentang Retribusi Izin Rekreasi dan Hiburan Umum.
10. Rancangan peraturan
daerah Kota Palu, tentang Retribusi Penerbitan Angka Pengenal Import (API).
11. Rancangan peraturan
daerah Kota Palu, tentang Tanda Daftar Keagenan/Distributor dan Jasa Produksi
Dalam dan Luar Negeri.
12. Rancangan peraturan
daerah Kota Palu, tentang Retribusi Izin Usaha Kepariwisataan.
Peraturan daerah merupakan salah satu bentuk produk hukum peraturan perundang-undangan tertinggi di daerah, oleh karena itu dalam proses pembuatan peraturan daerah harus sesuai dengan asas-asas perundang-undangan yang baik, agar sempurna teknik penyusunannya, terjaga keabsahan penerbitannya, diakui secara formal dan dapat berlaku efektif serta diterima oleh masyarakat. Jika kita konsisten berpedoman pada asas-asas perundang-undangan yang baik maka ada beberapa ciri atau syarat-syarat yang perlu mendapat perhatian dalam proses pembuatan peraturan daerah, yaitu Asas kejelasan tujuan, Asas manfaat, Asas kewenangan, Asas kesesuaian, Asas dapat dilaksanakan, Asas kejelasan rumusan, Asas keterbukaan, Asas efisiensi, dan asas-asas Materi Muatan. Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas untuk apa peraturan perundang-undangan tersebut dikeluarkan.
Setelah diadakan penelitian terhadap rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh pemerintah daerah kota Palu khususnya yang berkaitan dengan retribusi belum memperhatikan asas-asas pembuatan peraturan daerah yang baik, karena tujuan pembentukan peraturan daerah semuanya sama adalah dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu asas yang pada ummnya tidak mendapat perhatihan oleh perancang perturan daerah adalah asas keterbukaan karena peran serta masyarakat tidak dilibatkan dalam penyusunan rancangan peraturan daerah dan juga kejelasan rumusan belum terpenuhi karena masih ada isi pasal-pasal yang belum jelas makanannya namum tidak ada penjelasannya baik diketentuan umum maupun dalam penjelasan peraturan tersebut yang pada umumnya tertulis cukup jelas.
Pasal 69 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa “Kepala Daerah menetapkan peraturan daerah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 136 Ayat (!) menyatakan Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Makna “persetujuan bersama” dalam pasal ini tidak selalu bermakna untuk “setuju”, tetapi bias juga dimaknakan untuk “tidak setuju”. Ketidak setujuan bias saja terjadi manakala antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah tidak sepakat mengenai substansi yang diatur dalam rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah. Makna “tidak setuju” secara tersirat terdapat ketentuan Pasal 20 Ayat (3) Undang Undang Dasar Tahun 1945 , yang menentukan : “Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”.
Di dalam Pasal 20 Ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 memang tidak dirumuskan secara tegas bahwa apabila tidak mendapat persetujuan bersama, maka rancangan undang-undang tersebut tersebut ditolak menjadi undang-undang. namun kalimat “rancangan undang-undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu” sama artinya bahwa rancangan undang-undang tersebut ditolak untuk menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk masa persidangan itu. Persyaratan pada undang-undang 32 tahun 2004 harus ada “persetujuan bersama” antara Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berlaku baik terhadap rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah yang datang dari Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun rancangan undang-undang atau peraturan daerah yang datang dari pemerintah/pemerintah daerah, yang mana pada Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 cukup dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah .
Salah satu tujuan pembentukan peraturan daerah adalah untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus di daerah yang bersangkutan. Peraturan daerah sebagai penjabaran atau pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi bertujuan untuk memberi pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaannya di daerah. Substansi materinya telah diatur dalam perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan daerah sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan otonomi daerah bertujuan untuk mengatur substansi materi muatan yang sesuai dengan kondisi daerah. Jadi tidak harus berdasarkan peraturan yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi dapat juga membuat aturan sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah sepanjang aturan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Di dalam peraturan daerah yang dibentuk untuk menyelenggarakan otonomi daerah obyek pengaturannya meliputi baik yang bersifat substantif maupun yang bersifat teknis tata cara pelaksanaannya.
Di kota Palu setiap produk hukum peraturan daerah tujuan pembentukan peraturan daerahnya pada umumnya dapat dilihat dalam konsideran menimbang dan penjelasan umum dari peraturan daerah tersebut. Hasil penelitian penulis menunjukan bahwa di dalam produk hukum peraturan daerah di Kota Palu pada masa Persidangan Triwulan II Tahun 2003, terungkap bahwa dari 12 buah rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh pemerintah daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palu untuk dibahas bersama-sama, kemudian ditetapkan sebagai peraturan daerah di dalam setiap konsideran menimbang dan penjelasan umumnya, tujuan dibentuknya peraturan daerah adalah:
·
Dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab,
peningkatan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan
masyarakat yang berdaya guna dan berhasil guna;
·
Mengatur
kewenangan yang menjadi urusan pemerintah daerah kabupaten/kota;
·
Pembinaan
dan pengawasan dalam penyelenggaraan kewenangan yang telah menjadi urusan
pemerintah daerah kabupaten/kota.
·
Peningkatan
pendapat asli daerah.